Oleh : Chrysnanda Dwii Laksana
JAKARTA (PuskAPIK) – Seringkali hukum dipahami sebagai kewenangan, ancaman, boleh atau tidak boleh. Patuh hukum seolah olah hanya karena ketakutan akan ancaman.
Beberapa waktu lalu beredar di media sosial yang membahas tentang polisi tidak boleh menilang bagi pengendara yang tidak membawa SIM. Di dalam pembahasannya semua menjurus pada kewenangan menindak dan dicounter dengan berbagai tafsir kata-kata dalam Pasal 281 UULLAJ (Tidak Memiliki) dan Pasal 288 UULLAJ (Tidak Membawa).
Apa yang disampaikan menunjukkan bahwa hukum menjadi hantu dan kesadaran akan lalu lintas sbg urat nadi kehidupan sama sekali diabaikan. Hukum adalah simbol peradaban yang merupakan produk politik sebagai kesepakatan bersama untuk menata keteraturan sosial. Di dalam penegakkannya tatkala tidak ada atau tidak ditemukan rasa keadilan hukum boleh diabaikan karena penegak hukum adalah jg penegak keadilan. Penegak hukum memiliki kewenangan diskresi, alternative dispute resolution bahkan bisa menerapkan restorative justice.
Hukum ada sanksinya, ya tentu saja karena setiap pelanggaran berdampak luas dan social cost nya mahal atau setidaknya menjadi kontra produktif. Sanksi diberikan kepada pelanggar agar ada pertanggungjawaban dan ada efek jera atau dapat terbangunnya budaya tertib berlalu lintas. Sejalan dengan pemikiran tersebut pemahaman lalu lintas sebagai urat nadi kehidupan menjadi sangat penting bagi masyarakat maupun para stake holder lainya. Di dalam konteks lalu lintas sbg urat nadi kehidupan dpt ditunjukkan bahwa suatu masyarakat untuk dpt bertahan hidup tumbuh dan berkembang diperlukan produktifitas.
Untuk menghasilkan suatu produktifitas maka dipelukan adanya aktifitas. Aktifitas ini merupakan lalu lintas atau pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Oleh sebab itu lalu lintas dituntut untuk aman, selamat, tertib dan lancar. Pelanggaran pelanggaran lalu lintas akan berdampak pd terjadinya kemacetan, kecelakaan atau masalah lalu lintas lainya. Masalah masalah lalu lintas sering kali dianggap hal biasa tidak dipikirkan social costnya. Pelanggaran2 dianggap sebagai sesuatu yg biasa biasa saja hal lumrah dan banyak pelanggar kalau sudah lengkap surat suratnya boleh berbuat apa saja.
Di samping itu kebiasaan petugas polisi saat menindak pelanggaran yg ditanyakan dr awal hingga akhir seringkali sebatas memeriksa surat surat. Yg berkaitan dg spirit penegakkan hukum untuk 1. mewujudkan lalu lintas yang aman selamat tertib dan lancar, 2. meningkatnya kualitas keselamatan dan menurunya tingkat fatalitas korban kecelakaan,3. terbangunnya budaya tertib berlalu lintas seringkali kurang dipahami. Penegakkan hukum dibidang lalu lintas menyita surat2 pengemudi/kendaraan adalah sbg upaya paksa, namun hakekatnya bukanlah pada surat surat tersebut.
Program program dekade aksi keselamatan sbg implementasi road safety telah mencanangkan program penegakkan hukum yang berkaitan dg : 1. Helmet, 2. Speed, 3. Seat belt, 4. Drink driving, 5. Child restrain. Dan dikembangkan untk 6. konsentrasi mengemudi ( contoh menggunakan hp saat berkendara) dan 7. melawan arus. Ke 7 point inilah yg semestinya dilakukan trs menerus dan terintegrasi antar pemangku kepentingan untuk dapat membangun budaya tertib berlalu lintas.
Penegakkan hukum dilakukan bukan untk menyalahkan atau sekedar mencari kesalahan tetapi untuk :
1. Mencegah agar tidak terjadi kecelakaan, kemacetan atau masalah2 lalu lintas lainya
2. Melindungi pengguna jalan lainnya yg terganggu adanya pelanggaran.
3. Mewujudkan dan memelihara keamanan keselamatan ketertiban dan kelancaran dalam berlalu lintas.
4. Meningkatkan kualitas keselamatan dan menurunkan tingkat fatalitas korban kecelakaan
5. Terbangunnya budaya tertib berlalu lintas
6. Agar ada kepastian di dalam menata keteraturan sosial
7. Bagian dr edukasi.
Hukum adalah simbol peradaban dan ditegakkan untuk semakin manusiawinya manusia yang ditunjukkan dalam lalu lintas yang aman selamat tertib dan lancar bukan semata mata boleh atau tidak boleh. Safety for humanity kita semua mengimplementasikan road safety menuju zero accident sebagai penghormatan sumber daya manusia sebagai aset utama bangsa. (kw/red)
Penulis : Brigjen Pol Chrysnanda Dwi Laksana, Direktur Keamanan dan Keselamatan Korlantas Polri
Editor : Heru Prabowo