Cerita Tarmuji Berjualan Roti Keliling sambil Menggendong Anaknya

Tarmuji, warga Tegaldowo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan berjualan roti keliling sambil menggendong anaknya yang menderita down syndrom, FOTO/PUSKAPIK/SURYONO

PEKALONGAN (PUSKAPIK) – Perjuangan Tarmuji, warga Tegaldowo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan dalam menghidupi keluarganya sungguh berat. Dia berkeliling jualan roti sambil menggendong anaknya berusia 6,5 tahun yang menderita down syndrome. Ayah empat anak ini melakukan kerja dengan sepenuh hati sejak istri yang dicintainya meninggal dunia enam bulan silam.

Sehari-hari Tarmuji tinggal di rumah yang tidak layak huni. Kondisi rumah sangat pendek sekitar 1,5 meter saja, bahkan sulit untuk masuk dengan tegak, harus merunduk. “Awas hati-hati masuk rumah nanti terpentok kayu atau genteng. Rumah ini bertahun-tahun terendam rob dan saat ini hanya bisa diuruk agar bisa ditempati. Lantai tanah dengan kondisi bocor di sana-sini,” tuturnya kepada wartawan yang berkunjung ke rumahnya, Minggu (12/1/2020) sore.

Dia harus mengurus putri terkecilnya, Fitri Agustina (6,5), yang menderita down syndrom atau keterlambatan intlektual dan pertumbuhan tidak sempurna. “Dia setiap hari ikut bersama saya gendong berjualan roti keliling Pekalongan dari pagi hingga petang. Hal ini saya lakukan karena dia tak ada yang merawat di rumah dan tidak mau ditinggal sehingga ya harus ikut berjualan,” katanya.

Fitri digendong di bagian depan oleh sang ayah saat berkendara memakai sepeda motor. Dia mulai ikut ayahnya berjualan sejak 6 bulan lalu atau semenjak ibunya, Sitiyah meninggal dunia karena sakit. Sang kakak, Tika Novianti, siswa kelas 11 SMK, sehingga tidak bisa menjaga adiknya. “Dua anak laki laki saya bekerja sebagai nelayan yang jarang pulang, karena membantu mencari kebutuhan keluarga,” tuturnya.

Tarmuji berangkat pagi-pagi ke tempat mengambil roti lalu ditata untuk dijajakan keliling. Dia harus menembus padatnya lalu lintas pantura Pekalongan, juga debu serta panas dan kadang hujan. Sepanjang jalan dia menawarkan roti yang diangkutnya, kadang ada yang membeli tapi sering juga sepi pembeli. Tanpa lelah dia menawarkan roti dari satu lokasi ke lokasi lain. Tarmuji terus bersemangat karena berharap hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan keluarganya.

Saat ini Tarmuji juga harus membiayai anak perempuannya, Tika Novianti yang sekolah di SMK Swasta dengan uang SPP cukup mahal. “Setiap bulan harus membayar biaya pendidikan sekitar Rp150.000, belum uang saku. Keuntungan dari berjulaan ini sebgaian untuk makan dan juga disisihkan untuk biaya sekolah tapi sering tidak cukup,” katanya.

Dari berjualan roti keliling setiap hari, Tarmuji bisa mengantongi Rp50.000-Rp60.000. Dia mendapat 15% dari penjualan roti. Tarmuji hanya berfikir bagaimana menghidupi anak-anaknya tanpa mengandalkan belas kasihan orang lain.

Mahlul Azam, agen roti, mengaku sempat bingung karena Tarmuji bekerja mambawa anaknya. “Saya awalnya keberatan karena membawa ananya bisa membahayakan kesehatan dan keselamatan dan juga bisa ada pendapat negatif terhadap produk kami. Namun dia juga butuh membiayai keluarganya sehingga saya memberikan peluang dan membekali dengan kotak roti khusus,” katanya.

Anaknya pernah mau diasuh atau dititipkan ke panti, tapi tidak mau dan rewel karena harus ikut bapaknya. “Sang ayah juga tak tega dengan kondisi buah hatinya itu, sehingga terpaksa harus membawa saat bekerja mencari nafkah,” kata Mahlul Azam. (FM)

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!