SEPERTINYA kita memang harus belajar banyak tentang demokrasi. Belajar bahwa demokrasi berarti kemerdekaan. Kemerdekaan yang membuat orang bebas mempergunakan pikirannya tanpa adanya campur tangan dalam menentukan pilihan.
Sayangnya, suara demokrasi yang terdengar masih saja suara sumbang, suara menyimpang dari para pemainnya (baca; elit). Sementara suporter dan penonton (rakyat) “dipaksa” tertib menyimak, agar simponi demokrasi yang dimainkan para elit sedap dipandang dan didengarkan.
Demokrasi cuma sekadar slogan dari rakyat untuk rakyat yang kerap dijadikan komoditi politik para elit. Dan pada kenyataannya, kita (baca; rakyat) hanya didudukkan sebagai objek eksploitasi “rebutan” kekuasaan. Dengan dalih atas nama rakyat, yang sebenarnya merupakan kamuflase untuk melegitimasi perebutan kursi kekuasaan dari sebuah perhelatan bernama Pilkada.
Dalam beberapa bulan ke depan, Pilkada di Kabupaten Pemalang akan digelar. Pemberitaan di media massa dan media sosial pun mulai riuh ramai tentang siapa yang bakal mengganti Junaedi, Bupati Pemalang saat ini.
Harusnya, perhelatan lima tahunan ini adalah pesta demokrasi, yang secara harfiah dapat dimaknai dengan perayaan demokrasi. Pertanyaannya, apa yang mau dirayakan? Pada kenyataannya, selama ini Pilkada sebatas proses pergantian kekuasaan, demokrasi dipersempit hanya menjadi proses elektoral semata.
Dengan kata lain, Pilkada hanyalah prosedur pemilihan dan sirkulasi elit. Rakyat sebagai pemilih tidak pernah dilibatkan dalam proses memilih siapa yang pantas untuk dipilih nantinya. Para ketua partai dan para petinggi-petingginya yang merupakan elit-elit lah yang memilih siapa-siapa saja yang akan dipilih rakyat nantinya dalam Pilkada.
Rakyat selalu “dipaksa” duduk manis menonton drama antarelit partai. Para elit partai politik lah yang punya kuasa penuh untuk menentukan siapa saja yang akan dipilih. Bahkan kalau pun yang dipilih para elit pada akhirnya kambing dan kucing, mau tidak mau, suka tidak suka, kambing atau kucing lah yang nantinya akan dipilih rakyat dalam bilik-bilik suara.
Jadi sebenarnya, masih layakkah Pilkada menjadi sebuah pesta demokrasi? Atau seolah-olah demokrasi yang hanya jadi ajang perebutan kekuasaan antarelit?
Ah sudahlah…
Toh rakyat memang harus memilih, elit lah yang mengatur……
Heru Kundhimiarso
Pemimpin Umum