Demokrasi Citra

0

WARNA lalu lintas kehidupan manusia makin tak terbaca. Segala citra dan simbol bertebaran bebas tanpa dibuat mengerti maknanya. Selamat datang, di dunia rekayasa, dunia anggapan, dunia seolah-olah.

Dalam hitungan bulan ke depan, berbagai citra dan simbol yang diukir dalam wajah-wajah polesan akan berderet di sepanjang jalan dan tempat-tempat strategis di Pemalang. Suara-suara penebar semangat digaungkan dalam orasi-orasi politik saat kampanye terbuka. Ya, mendekati akhir Tahun 2020 ini, ada Pilkada Pemalang.

Sebentar lagi, pendulang suara, sibuk menggubah citra, agar suara nanti menghampirinya. Calon bupati dan calon wakil bupati mencetak baliho raksasa bergambar diri, mungkin berpeci atau bersorban. Harapannya, agar terlihat religius. Calon lainnya mungkin mengiklankan diri lewat adegan berada di tengah masyarakat atau bencana. Harapannya agar terlihat peduli dan merakyat.

Polesan citra dan permainan makna membungkus kita pada sebuah hiperrealitas. Jean Baudrillard menyebut istilah itu untuk menjelaskan perekayasaan makna dalam media. Atau Yasraf Amir Piliang menyebutnya sebagai realitas kedua. Sebab ia bisa lebih terlihat nyata dibanding yang benar-benar terjadi.

Citra tidak diciptakan begitu saja. Keberadaannya merupakan jaminan keberhasilan calon yang dibuat dari adonan harapan masyarakat dan klaim kebenaran seperti mumpuni, baik hati, religius, merakyat dan (wow!): agen perubahan.

Di tengah himpitan citra yang begitu menyesakkan, masyarakat hanya bisa menonton. Beberapa acuh, sisanya justru ketagihan. Kadang, masyarakat memang hanya menonton apa yang ingin mereka tonton. Bukan apa yang terjadi.

Tapi di sisi lain, lalu lintas citra ini kini hanya terlihat sebagai penghamburan dan rutinitas kampanye jelang pemungutan suara. Meski kejenuhan belum menampakkan reaksinya, citra tak begitu saja ditautkan menjadi pertimbangan kebimbangan di bilik suara nanti. Tetapi pasti lebih banyak yang terjebak citra. Karena terkadang politik praktis, hanya soal kesan.

Sejumlah kandidat sudah mulai bermunculan ke publik. Baik di publik nyata atau media sosial. Pasti mereka (pun), tak luput dari kelaziman pencitraan. Karena memang demikian hukum semesta politik praktis. Tak bisa sepenuhnya merdeka dari desain, skenario, dan polesan-polesan. Apalagi, pencitraan atau bukan, hanya pelakunya yang tahu dan Tuhan. Sekalipun gelagat dan sinyalnya bisa terbaca.

Salahkah ini semua? Jawabannya tergantung dari sudut pandang mana melihat. Sudut pandang adalah selalu dari sudut mana mata memandang. Itupun masih belum bebas, jika melihat dengan kacamata apa melihat. Jika kacamata buram oleh kabut pragmatisme, maka obyek pandang bisa jadi buram dan abu-abu.

Inilah hasil gembar-gembor citra dan simbol milik politisi yang jadi pengemis suara rakyat. Ia justru tak benar-benar dikenal, sebab polesan sudah terlalu menebal. Sementara masyarakat juga sudah bebal. Tak dididik kritis pada pilihannya di bilik suara, asal jari klingking tak sebersih biasanya. Selamat datang citra demokrasi. Demokrasi citra.*

Amin Nurrokhman
Pemimpin Redaksi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini