Akhir Hayat Bupati Pemalang Kyai Makmur, Tewas Ditembak Tentara Belanda

Hari itu, tepat pada tanggal 9 September 1947 (hari Selasa Wagé, bertepatan dengan tanggal 23 Syawal 1366 Hijriah atau 23 Sawal 1878) tentara Belanda dalam jumlah yang besar dan bersenjata mendatangi rumah Kyai Makmur. Pasukan Belanda itu datang sejak pagi buta, waktu Salat Subuh.

Mereka mengepung rumah Kyai Makmur hingga dua lapis. Kyai Makmur yang kala itu tengah berada di dalam rumah pun terhimpit, tak bisa pergi. Tentara Belanda berjalan-jalan mengitari rumah Kyai Makmur hingga matahari muncul dari ufuk timur. Keluarga maupun para tetangga Kyai Makmur pun ikut panik melihat situasi ini.

Kyai Makmur tetap tenang di dalam rumah bersama adiknya Romdhon. Sebagian keluarga seperti ibu mertua dan kemenakannya bertahan di rumah. Sementara sebagian lainnya pergi menyelamatkan diri masing-masing. Anak-anak Kyai Makmur dititipkan pada tetangga. Para pemuda sekitar turut pergi menyelamatkan diri.

Meski diminta Aidiyah alias Murah yang tinggal di sebelah timur rumahnya untuk melarikan diri, Kyai Makmur menolak untuk pergi. Sikap dan pendiriannya yang teguh melawan penjajah Belanda, membuat Kyai Makmur memilih tetap bertahan di rumah dan menghadapi tentara Belanda bersenjata siap tembak di dekeliling rumahnya.

“Beliau menolak ke Bu Murah, ‘Ora Rah, wong saiki wis wêktuné, ênyong ora bisa lunga-lunga (tidak Rah, sekarang sudah waktunya, saya tidak bisa pergi-pergi).” tutur Agus Bazi Rahardjo, kemenakan Kyai Makmur saat ditemui di rumahnya, Jalan
Agung Kelurahan Mulyoharjo Pemalang, Rabu (13/8/2025).

Sekitar pukul 9.00 WIB pagi, suara peluit mengomandoi tentara Belanda masuk ke rumah Kyai Makmur. Mereka langsung menggledah rumah. Lemari-lemari dibuka, bahkan pyan (loteng) tak luput dari penggeledahan. Mereka menanyakan saudara Kyai Makmur yang lain dan Menanyakan bambu runcing.

Ketika penggeledahan itu Kyai Makmur akan melaksanakan Salat Dhuha. la mengambil wudhu di kolah (kolam) lalu sholat di ambèn (tempat tidur) di belakang. Tentara Belanda pun menunggu Kyai Makmur melaksanakan salat di sekitarnya. Selesai salat serta dzikir, Kyai Makmur digiring keluar rumah.

Serdadu Belanda juga menggiring adik Kyai Makmur, Romdhon, keluar rumah. Kali ini Kyai Makmur tampak sudah pasrah. Sebelum digiring tentara Belanda ke jalanan, dirinya sempat berwudhu lagi di kolah pondok pesantrennya. Tasbih dan bêntong (tongkat) tidak ketinggalan ia bawa ketika keluar dari rumah.

Sambil berjalan, Kyai Makmur sempat berpesan kepada Aidliyah alias Murah untuk mendoakan dirinya dengan kalimat zikir, sebelum digiring ke jalanan oleh pasukan tentara Belanda.

“Rah, aku mangkat ya, kowen maca subhanallah, alhamdulillah, Iailah ha illallah, Allah hu Akbar, tekan engko ya.” pesan Kyai Makmur kepada Murah

(Rah, saya berangkat ya, kamu baca subhanallah, alhamdulillah, Iailah ha illallah, Allah hu Akbar, sampai nanti ya) – lantunan zikir yang biasa dibacakan orang Islam di Jawa saat mengiring jenazah menuju pemakaman.

Kyai Makmur lalu digiring ke jalanan (kini Jalan Kolonel Sugiono) bersama adiknya, Romdhon. Keduanya digelandang 20 tentara Belanda dengan senjara laras panjang siap tembak. Mereka digiring ke utara dan di pertigaan Beji belok ke barat sekitar 1 kilometer jauhnya.

Keduanya lalu dibelokkan ke utara, tepat di depan sebuah kantor yang kini menjadi Polres Pemalang. Mereka melewati persawahan hingga rel kereta tebu (kini Jalan Lingkar Luar Pemalang) yang sepi dan belok ke barat sekitar 200 meter di wilayah yang terkenal dengan sebutan Grogolan.

Di tempat itulah, Kyai Makmur dan adiknya, Romdhon, dieksekusi tentara Belanda. Peluru-peluru tentara Belanda menembus tubuh Kyai Makmur dan Romdhon. Setelah keduanya tewas tergeletak, pasukan Belanda kemudian bergerak ke barat menuju markasnya yang berada di kota Pemalang.

Seorang warga yang tengah menggembala ternak di sekitar tempat penembakan Kyai Makmur, lantas segera melaporkannya ke keluarga Kyai Makmur di Taman. Begitu pula Dulgani, warga Asemdoyong, Kecamatan Taman yang secara kebetulan, lewat di jalan tempat Kyai Makmur dan adiknya ditembak langsung menemui keluarga Kyai Makmur di Pelutan.

Dulgani bahkan membatalkan acaranya sendiri demi menyampaikan kabar duka itu kepada keluarga Kyai Makmur. Keluarga Kyai Makmur kemudian menyuruh Makmun dan Makin adik kandung Kyai Makmur membawa dua katil (keranda) bersama delapan orang lainnya ke lokasi penembakan.

Beberapa anggota keluarga yang lain di antaranya Mutamad Arghubi, kakak sepupu Kiai Makmur, dan Makdum, adik kandung Kiai Makmur, berangkat menuju Pemakaman Pagaran untuk mempersiapkan segala sesuatunya seperti menyiapkan liang lahat untuk melaksanakan pemakaman Kyai Makmur dan adiknya Romdhon.

Sementara itu, usai mendengar berita pembunuhan Kiai Makmur dan adiknya Romdhon, sekitar pukul 12.00 WIB siang keluarga istri Kyai Makmur di antaranya Jazuli Agus, adik ipar Kyai Makmur, langsung datang ke lokasi. Tak berpikir panjang, Jazuli yang waktu itu baru pulang dari sawah dengan berpakaian seadanya langsung menuju ke tempat kejadian.

Di lokasi penembakan, jenazah Kyai Makmur dan adiknya, Romdhon, masing-masing diangkat ke atas keranda oleh Makmun dan Makin. Kedua jenazah dibawa beriringan, jenazah Kyai Makmur di depan, dikawal oleh Makmun dan di belakangnya jenazah Romdhon dikawal oleh Makin. Kedua jenazah dibawa ke tempat pemakaman umum di Pagaran.

Sesampainya di Tempat Pemakaman Umum Pagaran, jenazah Kyai Makmur dan Romdhon diterima oleh Mutamad Arghubi.
Sebelum dimakamkan, kantong baju Kyai Makmur dan Romdhon digroboh (diperiksa). Di kantong Kyai Makmur, ditemukan kapuk kapas dan peniti, seolah sangat siap menghadap sang khalik.

Waktu itu Kyai Makmur yang memakai baju koko berwarna putih dan bawahnya sarung samarinda warna biru luka tembak Kyai Makmur hanya satu di perut. Namun anehnya tidak berdarah.

Sementara adiknya, Romdhon kala memakai sarung Samarinda warna merah, bajunya baju biasa tetapi berubah menjadi merah karena berlumuran darah. Luka Romdhon di pelipis kiri dan bahu kiri. Diperkirakan, Romdhon ditembak dari belakang. Pemakaman keduanya selesai waktu maghrib tiba.

Diabadikan Menjadi Nama Jalan dan Tugu Peringatan di Pemalang

Perjuangan Kyai Makmur dalam melawan penjajah Belanda dan menjaga kemerdekaan bangsanya amat membekas di hati masyarakat Kabupaten Pemalang. Maka, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, namanya diabadikan menjadi nama jalan di depan Pendopo Kabupaten Pemalang.

Jalan Kyai Makmur membentang dari barat ke timur dari depan pendopo kabupaten sampai bertemu dengan jalan Jenderal Ahmad Yani, yang membujur dari utara ke selatan. Tahun 1986 nama jalan tersebut dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat Il Pemalang, Nomor 2Tahun 1986 tentang Nama-nama Jalan.

Selain diabadikan menjadi nama jalan untuk menghormati jasa dan perjuangan Kyai Makmur, Pemerintah Kabupaten Pemalang pada era Bupati Slamet Haryanto B.A. membuat tugu peringatan di tempat Kiai Makmur dan aadiknya Romdhon ditembak tentara Belanda, tepatnya kini Jalan Lingkar Utara Pemalang sekitar 1 kilometer di sebelah timur Terminal Bus Pemalang. **

error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!