Guru di Persimpangan Zaman, Profesi Strategis yang Masih Belum Dilindungi Negara
- calendar_month Sel, 25 Nov 2025


Di setiap akhir tahun, bangsa ini kembali merayakan Hari Guru tiap 25 November. Namun perayaan ini kerap berhenti pada seremoni tanpa evaluasi substansial. Padahal, masa depan pendidikan Indonesia ditentukan oleh kualitas hidup dan perlindungan negara terhadap para guru.
Di tengah transformasi pendidikan yang berlangsung cepat, profesi guru justru berada pada posisi paling rapuh: dibebani tuntutan tinggi, dihadapkan pada kesejahteraan yang timpang, dan semakin rentan terhadap kriminalisasi tindakan pedagogis.
Profesionalisme yang Terhambat Struktur
Konsensus riset internasional menegaskan bahwa kualitas guru adalah faktor paling menentukan dalam capaian belajar siswa. Hanushek (2011) menyebut guru sebagai “aset produktivitas nasional” karena kontribusinya terhadap kualitas SDM jangka panjang.
Namun temuan ilmiah ini tidak berjalan seiring dengan desain kebijakan di Indonesia.
Guru dihadapkan pada dilema struktural. Beban administrasi yang menumpuk—seperti ditunjukkan Chang, Kim & Bae (2020) menggerus ruang kreativitas dan kualitas persiapan mengajar.
Alih-alih menjadi fasilitator belajar, guru terjebak dalam rutinitas pelaporan yang jarang berpengaruh pada mutu pembelajaran. Ini bertentangan dengan prinsip knowledge worker yang digagas Drucker (1999), di mana guru seharusnya bekerja dalam ruang yang memungkinkan inovasi, refleksi, dan kebebasan akademik.
Ketika tuntutan profesionalisme terus meningkat, dukungan sistemik justru stagnan. Di banyak sekolah, akses pelatihan berkelanjutan dan fasilitas pedagogis masih jauh dari memadai. UNESCO (2022) mencatat bahwa tingkat literasi digital guru di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Timur.
- Penulis: Redaksi
- Editor: Nia



























