Penataan PKL dan Transisi Regulasi, Saatnya Publik Melihat dengan Jernih
- calendar_month 0 menit yang lalu


Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di Alun-alun Purbalingga kembali menjadi bahan perbincangan publik.
Beberapa suara tergesa-gesa menuding pemerintah “membiarkan pelanggaran”, seolah-olah ketertiban kota sedang runtuh begitu saja.
Padahal, jika kita bicara hukum dan mekanisme pemerintahan, situasinya jauh lebih kompleks daripada sekadar benar atau salah.
Pemerintah daerah dan DPRD saat ini sedang berada pada satu fase yang paling penting dalam tata kelola daerah: masa transisi regulasi.
Raperda tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat sudah berada di tahap akhir pembahasan.
Regulasi inilah yang nantinya menjadi dasar baru bagi seluruh penataan, termasuk PKL.
Dan inilah yang sering diabaikan oleh para pengkritik: Perbup 94/2019 sebentar lagi akan kehilangan landasan hukumnya. Menegakkan aturan lama secara kaku justru berpotensi menabrak prinsip lex superior derogat legi inferiori.
Pemerintah tidak sedang abai—mereka sedang berhati-hati agar tidak terjebak dalam penegakan hukum yang cacat secara yuridis.
Dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan bukan gegabah, tetapi kebijakan yang bijak.
Penataan Bukan Soal Mengusir, Melainkan Mengatur
Raperda baru menawarkan paradigma berbeda. Tidak hanya menindak, tetapi juga membina; tidak hanya menertibkan, tetapi juga memberi ruang bagi rakyat kecil untuk tetap berusaha.
Pendekatan preemtif—yang sebelumnya tidak diatur—membuka peluang dialog yang lebih manusiawi.
Publik perlu memahami bahwa PKL bukanlah masalah yang muncul tiba-tiba. Mereka sudah ada jauh sebelum pemerintahan saat ini.
- Penulis: Redaksi
- Editor: Nia

























