Kamis, 28 Agu 2025

Jateng Industrial Belt: Jalan Baru Keluar dari Zona Kemiskinan

  • calendar_month Sel, 26 Agu 2025

Oleh : Wahidin Hasan

ADA kabar baik yang tak seharusnya lewat begitu saja: per Maret 2025, tingkat kemiskinan Jawa Tengah turun ke 9,48% atau turun 0,10 poin dari September 2024. Jumlah orang miskin pun menyusut jadi 3,37 juta jiwa (turun 29,65 ribu orang).

Di pasar kerja, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2025 berada pada 4,33%, lebih rendah setahun sebelumnya. Bahasa sederhananya, semakin banyak orang bekerja maka kelompok rentan sedikit berkurang. Ini bukan angka sakti, tapi penanda arah yang tepat.

Korelasi langsungnya muncul di investasi. Pada semester I/2025, realisasi investasi Jateng mencapai Rp 45,58 triliun. Ini yang penting yakni mampu menyerap 222.373 pekerja, tertinggi di antara provinsi di Pulau Jawa.

Di kuartal I saja, penyerapan mencapai 97.550 orang, dengan alas kaki dan kulit menjadi penyerap terbesar. Ini berarti, mesin industri di pantai utara, dari Kendal hingga Batang, tidak sekadar papan nama. Mereka mulai bergerak, mengisi dompet keluarga.

Peta Kawasan Industri: Kendal, Batang, dan Brebes Pada peringatan Hari Jadi Ke-80 Provinsi Jawa Tengah digelar di Kawasan Industri Terpadu Batang(KITB), Selasa (19/8/2025). Gubernur Ahmad Luthfi mengajak pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat pembangunan.

Kendal sudah lama jadi “anak sulung” kawasan industri Jateng. Di kawasan ekonomi khusus ini, perusahaan yang beroperasi terus bertambah dan kebutuhan tenaga kerja masih puluhan ribu. Angka yang sering disebut pejabat daerah adalah kurang lebih 37 ribu pekerja tambahan. Ini menggambarkan mismatch klasik: lowongan ada, tapi keterampilan harus ngepas.

Batang mengambil peran baru setelah Kawasan Industri Terpadu (KITB) diresmikan sebagai KEK Industropolis Batang pada 20 Maret 2025.

Status KEK memberi karpet merah: fiskal, bea, lahan, dan pasti izin. KEK ini dirancang menjadi magnet hilirisasi dan manufaktur padat karya, sehingga efek berantainya masuk sampai warung, kos-kosan, dan logistik lokal.

Sementara, Brebes adalah “adik bungsu” yang ambisius: rencana Kawasan Industri Brebes (KIB) seluas ribuan hektare menunggu harmonisasi RTRW dan detail tata ruang.

Ini bukan sekadar teknis, tetapi fondasi kepastian hukum bagi investor (dan nasib ribuan calon pekerja). Begitu RDTR terkunci, kanal investasi bisa dibuka lebih lebar.

Kalau tiga kutub ini, Kendal, Batang, Brebes, tersambung dengan logistik memadai, pendidikan vokasi yang “klik” dengan pabrik, dan izin yang tidak “seret”, maka target Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen untuk punya “Jateng Industrial Belt” akan nyata, bukan jargon.

Kawasan Industri Mengeliminasi Kemiskinan
Ekonomi pembangunan punya penjelasan lama tapi sahih. Michael Porter menyebut, keunggulan kompetitif lahir dari klaster, interaksi antarfirma, pemasok, talenta, dan lembaga pendidikan, di satu wilayah.

Di klaster, produktivitas dan inovasi naik karena kedekatan. Jateng utara sedang menuju itu, yakni pemasok komponen, training center, SMK, kampus, dan pabrik, menjadi satu ekosistem.

Paul Krugman mengajarkan “new economic geography”, industri cenderung menggerombol karena skala ekonomi dan pasar tenaga kerja yang tebal, yang akhirnya menciptakan “inti” manufaktur.

Kendal-Batang berpotensi menjadi “inti” baru di Jawa, terutama untuk subsektor garmen-alas kaki-elektronik ringan.

Dani Rodrik mengingatkan: kebijakan industri modern bukan memilih pemenang, tetapi membongkar rintangan, dari izin, logistik, sampai informasi melalui “koordinasi negara–swasta” yang adaptif.

Pemerintah tidak harus menebak industri apa, tetapi memudahkan industri yang muncul dan cepat memperbaiki ketika industri tersebut hadir tidak sesuai dengan kondisi geoekonomi daerah.

Justin Yifu Lin menambahkan dari perspektif New Structural Economics: negara perlu menyelaraskan kebijakan dengan keunggulan komparatif dinamis. Misal, buruh melimpah akan mendorong padat karya dulu, lalu bertahap naik kelas ke padat teknologi.

Itu cocok untuk Jateng, mulai dari alas kaki, garmen, komponen otomotif, lalu naik ke elektronik dan medical devices.

Syarat “Ramah Pabrik”
Di level praksis, Chatib Basri berulang kali menekankan iklim investasi sebagai kunci: bukan cuma tarif pajak, tapi kepastian, kemudahan, dan konsistensi aturan. Tanpa itu, pabrik enggan menancap jangkar, insentif tak akan cukup. Pesan ini penting untuk birokrasi daerah yang memegang “baut-baut kecil” perizinan.

Fakta di lapangan: perizinan daerah sering masih dianggap sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah), sehingga alih-alih meluncurkan, malah menebalkan biaya transaksi. Jika ini tak dibereskan, investor bisa belok ke provinsi tetangga yang lebih “tidak rewel”.

Di sisi lain, perdebatan hilirisasi vs industrialisasi yang diulas Faisal Basri patut jadi rem tangan agar Jateng tidak puas di hulu (ekstraktif) atau sekadar “assembling”. Hilirisasi harus nyata mencetak pabrik bernilai tambah dan tenaga kerja terampil, bukan hanya memindahkan gudang.

  • Penulis: puskapik

Rekomendasi Untuk Anda

error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!
expand_less