Kisah Dramatis Bupati Pemalang Kyai Makmur, Ditangkap dan Dibunuh Belanda

Rumah joglo tua di Jalan Kolonel Sugiono, Taman, Kabupaten Pemalang menjadi saksi bisu penangkapan Bupati Pemalang ke-3, Kyai Makmur. Peristiwa itu tepatnya terjadi tanggal 9 September 1947, pagi hari. Suasana mencekam menyelimuti rumah keluarga Nyai Samnah, istri Kyai Makmur, hari itu.

Dua lapis Pasukan Belanda mengepung rumah tersebut sejak pagi buta. Mereka datang untuk menangkap Kyai Makmur yang sedang berada di dalamnya, setelah berkali-kali lolos. Pagi itu, akhirnya mereka berhasil menangkap Bupati Makmur bersama adiknya Romdhon dan menembak mereka.

Kini rumah joglo tua milik keluarga Nyai Samnah itu dihuni Bakrin Santoso bersama istri dan anaknya. Bakrin Santoso merupakan anak dari Jazuli Agus adik Nyai Samnah. Rumah itu masih utuh, tanpa banyak perubahan. Hanya saja bangunan pondok yang dibangun Kyai Makmur kini tak bersisa.

“Iya, kalau dari cerita bapak saya dulu penangkapannya disini. Dulu di rumah ini, Mbah Kyai Makmur dan Mbah Samnah menghuni kamar paling belakang. Ini sebagian besar bangunannya masih asli.” tutur Arina Nurul Ilma, Cicit Kemenakan Kyai Makmur kepada puskapik.com, Kamis (14/8/2025).

Detik-detik Tentara Belanda Menangkap Kyai Makmur

Suasana penangkapan Kyai Makmur tak kalah dramatis dengan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh pasukan Jenderal De Kock di Rumah Residen Kedu di Magelang. Tanpa basa basi, tanpa iming-iming perundingan, Kyai Makmur dikepung dan ditangkap dengan dua lapis pasukan.

Setelah Kyai Makmur memutuskan keluar dari Pendopo Kabupaten Pemalang dan masuk ke pedalaman, tentara Belanda rutin berpatroli di Jalan Raya Taman (kini Jalan Kolonel Sugiono). Mereka mondar-mandir mengawasi rumah keluarga Kyai Makmur, bupati yang memiliki pengaruh kuat terhadap kaum gerilya.

Pada pertengahan bulan Agustus 1947, tentara Belanda yang diangkut sebuah truk datang ke Desa Taman usai mendengar keluarga Kyai Makmur pulang dari pengungsian. Mereka menyatroni dan memantau rumah keluarga Kyai Makmur maupun rumah-rumah sekitarnya tanpa menggeledah.

Lantaran merasa takut, keluarga Kyai Makmur akhirnya bersembunyi. Keesokan harinya, mereka lalu mengungsi ke rumah H. Soleh di Dukuh Bandelan, Desa
Taman yang berada di sebelah barat rumah mereka kurang lebih 1 kilometer. Keluarga Kyai Makmur mengungsi disana selama berhari-hari.

Dalam masa-masa itu istri Kyai Makmur, Nyai Samnah, meninggal dunia. Setelah sekian lama berada di pedalaman Pemalang, dalam suatu malam Kyai Makmur akhirnya pulang untuk menengok keluarga dan pesantrennya di Taman. Ia datang bersama sang adik, Romdhon serta Saud dan Muslim.

Namun, ketika Kyai Makmur dan rombongannya tiba, rumah dan pesantrennya tampak kosong lantaran keluarganya tengah mengungsi di Dukuh Bandelan. Mereka pun disusul Kyai Makmur dan diajak pulang untuk tetap berada di rumah, tidak pergi kemana-mana.

Sementara itu, Masduki, Komandan Regu Hizbullah, merasa cemas mendengar Kiai Makmur keluar dari pedalaman dan turun ke kota. Pasalnya, hari-hari itu terjadi pertempuran di Jembatan Sirayak dan di Desa Sokowangi yang tidak jauh dari Desa Taman. Masduki lantas mendatangi Kiai Makmur di rumahnya.

Saat bertemu Kyai Makmur, Masduki membujuk agar sang bupati segera meninggalkan rumah dan pergi bersamanya karena situasi sangat gawat.
Tetapi Kyai Makmur enggan pergi meninggalkan rumah, ia bertekad menghadapi tentara Belanda apapun yang terjadi.

“Beliau bilang begini ke Pak Masduki, ‘biar
saya di rumah, nanti saya ke sana lagi. Saya kalau mati pun sanggup menjadi umpak (pondasi)-nya kemerdekaan’.” tutur Agus Bazi Rahardjo, kemenakan Kyai Makmur saat ditemui di rumahnya, Jalan
Agung Kelurahan Mulyoharjo Pemalang, Rabu (13/8/2025).

Mendengar kabar dari mata-matanya ihwal kepulangan Kyai Makmur, tentara Belanda lalu menyatroni ke rumah keluarga Kyai Makmur di Desa Taman dengan satu misi : menangkap Kyai Makmur untuk melumpuhkan semangat pejuang gerilya. Namun, upaya itu nihil. Kyai Makmur bersembunyi di rumah tetangganya, Miah.

Beberapa hari kemudian, untuk kedua kalinya, tepat pada tanggal 9 September 1947 (hari Selasa Wagé, bertepatan dengan tanggal 23 Syawal 1366 Hijriah atau 23 Sawal 1878) tentara Belanda dalam jumlah yang besar dan bersenjata kembali mendatangi rumah Kyai Makmur. Kali ini mereka datang sejak pagi buta, waktu Salat Subuh.

Para serdadu Belanda mengepung rumah Kyai Makmur hingga dua lapis. Kyai Makmur yang kala itu tengah berada di dalam rumah pun terhimpit, tak bisa pergi. Tentara Belanda berjalan-jalan mengitari rumah Kyai Makmur hingga matahari muncul dari ufuk timur. Keluarga Kyai Makmur pun ikut panik.

Aidiyah alias Murah yang rumahnya di sebelah timur Kyai Makmur lalu datang. Ia memohon kepada Kyai Makmur agar menyingkir dari rumah. Sikap dan pendiriannya yang teguh melawan penjajah Belanda, membuat Kyai Makmur memilih tetap bertahan di rumah dan menghadapi tentara Belanda.

“Beliau menolak ke Bu Murah, ‘Ora Rah, wong saiki wis wêktuné, ênyong ora bisa lunga-lunga (tidak Rah, sekarang sudah waktunya, saya tidak bisa pergi-pergi).” tutur Agus Bazi Rahardjo.

Saat itu, sebagian keluarga Kyai Makmur dan adiknya Romdhon, termasuk ibu mertua dan kemenakannya bertahan di rumah. Sementara sebagian lainnya pergi
menyelamatkan diri masing-masing. Termasuk anak-anaknya yang dititipkan pada tetangga. Para pemuda sekitar pun pergi menyelamatkan diri.

Sekitar pukul 9.00 WIB pagi, suara peluit mengomandoi tentara Belanda masuk ke rumah Kyai Makmur. Mereka langsung menggledah rumah. Lemari-lemari dibuka, bahkan pyan (loteng) tak luput dari penggeledahan. Mereka menanyakan saudara Kyai Makmur yang lain dan
Menanyakan bambu runcing.

Ketika penggeledahan itu Kyai Makmur akan melaksanakan Salat Dhuha. la mengambil wudhu di kolah lalu sholat
di ambèn (tempat tidur) di belakang. T
tentara Belanda pun menunggu Kyai
Makmur melaksanakan sholat di sekitarnya. Selesai salat serta dzikir, Kyai Makmur digiring keluar rumah.

Kyai Makmur digiring bersama adiknya, Romdhon. Sambil berjalan, Kyai Makmur sempat berpesan kepada Aidliyah alias Murah untuk mendoakan dirinya dengan kalimat zikir, sebelum digiring ke jalanan oleh pasukan tentara Belanda.

“Rah, aku mangkat ya, kowen maca subhanallah, alhamdulillah, Iailah ha illallah, Allah hu Akbar, tekan engko ya.” pesan Kyai Makmur kepada Murah

(Rah, saya berangkat ya, kamu baca subhanallah, alhamdulillah, Iailah ha illallah, Allah hu Akbar, sampai nanti ya). **

error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!