Kyai Makmur : Ulama dan Pejuang Kemerdekaan dari Pemalang

Tumbuh dalam lingkungan keluarga ulama yang disiplin dan religius membentuk Makmur menjadi seorang santri. Maka, usai lulus dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pemalang tahun 1920, ia melanjutkan pendidikan dan memperdalam ilmu agamanya di Pesantren Grobogan (Purwodadi) dan di Godong, Demak, Jawa Tengah, tahun 1921.

Namun, Makmur tak begitu lama belajar disana. Hanya sekitar satu tahun. Ia kemudian kembali ke rumah orang tuanya di Pelutan, Pemalang. Hingga pada awal

tahun 1922 Makmur remaja bersama Komar Zen, kakak sepupunya, memasuki Pesantren Jamsaren, Solo, Jawa Tengah. Pesantren itu yang dipimpin oleh K.H. Idris, sebuah pesantren kondang kala itu.

Di Pondok Pesantren kali ini, Makmur remaja tak hanya dengan Komar Zen, ada banyak pula teman santri yang berasal dari Pemalang. Kurang lebih selama tiga tahun Makmur menimba ilmu di Pesantren Jamsaren, Solo dan pada tahun 1925 Makmur dewasa kembali pulang ke kampung halamannya di Pelutan, Pemalang.

Sebagai santri yang haus ilmu, Makmur tak berlama-lama di rumah. Tahun itu juga dirinya berangkat dan belajar agama di Pondok Pesantren Tebuireng. Jombang. Jawa Timur, pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari. Ia berangkat bersama kakak sepupunya, Komar Zen, adik sepupunya, Hafas, putra H. Sanusi, adik-adik kandungnya Mahzun dan Makmun yang menyusul.

Santri Kepercayaan Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy`ari

Selama si Pesantren Tebuireng, Makmur disamping mengaji juga diberi tugas untuk mengajar di Madrasah Salafiah. la mengajar Kelas V dan VI. Karena kepandaiannya Makmur kemudian diangkat sebagai Kepala Guru dan akhirnya dipercaya oleh Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy`ari sebagai Lurah Pondok.

Tak hanya Makmur, kala itu yang diberi
tugas mengajar adalah K.H. Ilyas, dari Banyu Urip, Pekalongan (Mantan Mentri Agama Republik Indonesia) dan K.H. Wahid Hasyim (ayah Abdurrahman Wahid, Mantan Menteri Agama RI). Di pondok
pesantren Tebuireng Jombang itu, Makmur dikenal dengan panggilan Gus Makmur.

Ikut Membantu Mendirikan Nahdatul Ulama

Selain dimandatkan menjadi Lurah Pondok, Makmur juga sering ditugaskan mewakili K.H. Hasyim Asy`ari menghadiri pertemuan dengan pejabat regentschap (kabupaten). Ia pun sempat membantu K.H. Hasyim Asy`ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Saat itu, Sekretaris Tanfidziyah pertama dijabat oleh Kyai Dipo dari Pemalang.

Menginjak usia 26 tahun, Makmur dipanggil untuk menghadap Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy`ari. Kepadanya diberitahukan bahwa khidmahnya di Pesantren Tebuireng Jombang dinilai telah cukup dan pemuda Makmur diharapkan kembali dan
mendirikan pesantren di tempat tinggalnya di Kabupaten Pemalang.

Tahun 1932, Makmur pun kembali ke rumah orang tuanya di Pelutan, Pemalang. Selain dirinya, para santri asal Pemalang dan Grobogan (Purwodadi), Jawa Tengah, bernama Tamyis, juga mengikutinya. Tidak lama dari kepulangannya, pemuda Makmur menikah dengan Samnah, anak H. Mawardi seorang mantan pengulu Taman, Pemalang, berasal dari Tegal.

Seusai menimah, pemuda Makmur pindah dari rumah orang tua ke rumah mertuanya
di Taman, Pemalang, tepatnya berada di sebelah selatan mesjid Jami Taman` (kini Baitul Makmur) dan berada di tepi Jalan Beji – Banjardawa (kini Jalan Kolonel Sugiono). Dalam perkawinan tersebut ia dikaruniai empat orang anak, yaitu tiga orang laki-laki dan seorang perempuan.

Mendirikan Pondok Pesantren di Taman Pemalang

Di rumah tua itu pula, Kyai Makmur membangun pondok pesantren. Kala itu, kemajuan Pondok Pesantren Kyai Makmur cukup pesat. Santrinya tak hanya dari Pemalang, Tegal, Pekalongan, tapi juga dari Semarang. Kudus Pati, Magelang. Losari, sekitar Cirebon (Buntet dan Galagamba). Indramayu, Ciamis, dan Tasikmalaya.

Jumlah santrinya terus bertambah dari tahun ke tahun dan puncak perkembangannya pada tahun 1939 dan 1940. Banyak pula santri yang datang dari Lampung, Palembang, dan Singapura.’ Waktu itu jumlah santri tidak kurang dari 1000 orang, suatu jumlah yang cukup besar pada tahun 1930-an.

“Dulu bagian depan rumah ini (joglo) jadi pendopo kumpul buat santri-santri, kamarnya ada di belakang. Dulu di rumah ini, Mbah Kyai Makmur dan Mbah Samnah menghuni kamar paling belakang.” tutur Arina Nurul Ilma, Cicit Kemenakan Kyai Makmur, sambil menunjukan rumah keluarga Nyai Samnah di Taman Pemalang, Kamis (14/8/2025). **

error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!