Kyai Makmur : Bupati Pemalang Penentang Belanda

Cita-cita Indonesia merdeka sudah tertanam di hati Kyai Makmur sejak kecil. Mendapat keistimewaan bisa mengenyam pendidikan ala barat di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Kabupaten Pemalang, tak membuatnya lantas merasa nyaman hidup di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Hidup di lingkungan keluarga muslim yang taat mendidik Makmur sebagai santri terpelajar yang aktif berorganisasi. Kiprahnya kelak membawanya menjadi Bupati Pemalang. Namanya dikenang sebagai adipati yang menentang keras penjajah Belanda hingga akhir hayatnya.

Diangkat Rakyat Menjadi Bupati

Kyai Makmur merupakan Bupati Pemalang ke-3 pasca proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ia diangkat sebagai Bupati Pemalang dalam suatu rapat umum di Alun-alun Kabupaten Pemalang yang disaksikan langsung oleh rakyat. Pengangkatan sang kiai menjadi “Adipati” itu tepatnya tanggal 30 Desember 1945.

Pengangkatan Kyai Makmur sebagai Bupati Pemalang dilakukan tujuh hari setelah Bupati Supangat yang menjabat dari gerakan “Peristiwa Tiga Daerah” akhirnya ditangkap pada 23 Desember 1945 oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dalam rapat umum di Pendopo Kabupaten Pekalongan dan dipenjara.

Pengangkatan Kyai Makmur menjadi bupati cukup mendadak. Kyai Makmur awalnya dihubungi oleh K.H. Siraj, pimpinan Laskar Sabilillah dan Hizbullah Karesidenan Pekalongan agar dirinya bersedia dijadikan Bupati Pemalang menggantikan Supangat. Dirinya kemudian meminta petunjuk keluarga.

Bukan tanpa alasan, Kyai Makmur diminta kesediaannya menjadi bupati lantaran dia
merupakan ulama yang berpengaruh di Kabupaten Pemalang dan juga seorang
yang aktif dalam pergerakan kebangsaan. Akhirnya Kyai Makmur mengamini atas restu sang ayah, K.H. Nawawi Sugro dan pamannya, K.H. Arghubi.

Dalam rapat umum pengangkatan bupati, para pembesar daerah duduk di atas panggung dan rakyat berada di Alun-alun Kabupaten Pemalang. Panggung itu didirikan di perempatan jalan menuju pendopo kabupaten (sekarang perempatan
sebelah timur Kantor Kemenag Kabupaten Pemalang).

Saat itu K.H. Siraj menggandeng Kyai Makmur menghadap keramaian rakyat yang berkumpul di Alun-alun Kabupaten Pemalang. Pimpinan Laskar Sabilillah dan Hizbullah Karesidenan Pekalongan itu menawarkan kepada rakyat yang hadir untuk mengangkat Kyai Makmur menjadi Bupati Pemalang.

“Nah waktu itu seluruh hadirin serentak menjawab dan bersorak ‘setuju!’. Sejak itu beliau menjadi Bupati Pemalang.” tutur Agus Bazi Rahardjo, kemenakan Kyai Makmur saat ditemui di rumahnya, Jalan
Agung Kelurahan Mulyoharjo Pemalang, Rabu (13/8/2025).

Setelah menjadi bupati, Kiai Makmur tinggal dan berkantor di pendopo Kabupaten Pemalang. Ia tinggal disana bersama sang Istri, Nyai Samnah dan anak-anaknya, serta beberapa kerabat yang membantunya mengurusi kesibukan di Pendopo Kabupaten Pemalang yang berada di Kebondalem itu.

Di tengah kesibukannya sebagai bupati, Kyai Makmur tak meninggalkan pesantrennya yang ia dirikan di rumah tinggalnya di Desa Taman Kecamatan Taman (sebelah selatan : kini Masjid Baitul Makmur Jalan Kolonel Sugiono, Taman). Kyai Makmur tetap mengajar santrinya, mereka diundang ke Pendopo.

Mental Gerilyawan, Tak Sudi Jadi Bupati ‘Kacung’ Belanda

Firasat akan datangnya malapetaka itu sudah dirasakan Kyai Makmur dalam acara intihan di pesantrennya pada akhir bulan Sya`ban tahun 1366 Hijriah atau bulan Ruwah tahun 1878 dalam pertengahan bulan Juli 1947. Ia merasakannya di tengah keriuhan anak-anak pesantren.

“Waktu itu beliau ngucap ‘Bocah kok rame temen, kiye mengko bakale ana apa?’ (Anak-anak kok ramai benar, ini nanti mau ada apa?”). Beliau ngerasa sedih.” ungkap Agus Bazi Rahardjo.

Apa yang menjadi firasat Kyai Makmur menjadi nyata. Tentara Belanda datang menduduki wilayah-wilayah di Indonesia, tepatnya mulai 21 Juli 1947. Peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product (Operasi Produk). Operasi militer Belanda ini kembali mengancam Kemerdekaan Indonesia.

Kabupaten Pemalang pun tak luput dari operasi militer Belanda itu. Para tentara Belanda datang dari arah Cirebon, terus bergerak ke timur setelah menduduki Bandung dan Jakarta. Pada 31 Juli 1947 di tengah bulan Ramadhan, mereka bergerak menembus Kabupaten Pemalang melalui Kedungjati – Sumberharjo.

Esok harinya, tanggal 1 Agustus 1947, hari Jum`at Kliwon, bertepatan dengan tanggal 14 Ramadhan 1366, pasukan Belanda yang
lain dari Tegal bergerak menuju Pemalang melewat jalan pantura. Pasukan Belanda dengan menggunakan kendaraan lapis baja seperti tank dan panser bergerak perlahan-lahan menuju Kota Pemalang.

Suasana mencekam menyelimuti Kabupaten Pemalang malam itu. Di langit, pesawat tempur cocor merah tentara Belanda meraung-raung dan menembaki secara brutal. Ketika pasukan tentara Belanda masih berada di Pelawangan, Kyai Makmur bersama adiknya, Romdhon keluar dari Pendopo Kabupaten Pemalang.

Pagi-pagi benar keduanya menuju Masjid Agung Pemalang yang berada di sebelah Timur Alun-alun. Mereka sempat bertemu Masduki, salah seorang Komandan Regu Laskar Hizbullah Pemalang. Sementara kerabat sekaligus pembantu, Khariroh dan anak-anak Kyai Makmur diungsikan ke rumah Khariroh di Kebondalem.

Setelah dari Masjid Agung Pemalang, Kyai Makmur kemudian menengok rumah dan pesantrennya di Taman. Saat itu, Komandan Batalyon I Laskar Hizbullah Pemalang, menghadap Kyai Makmur untuk meminta petunjuknya untuk perjuangan gerilya selanjutnya, sekitar pukul 10.00 WIB pagi.

Kyai Makmur yang tak sudi menjadi bupati dibawah naungan penjajah Belanda, memilih meninggalkan kota dan masuk ke pedalaman. Ia bersama sang adik, Romdhon, memilih pergi ke Desa
Sungapan masuk menelusur hutan hingga sampai ke rumah santrinya, Sobri di Desa Wanarata Bantarbolang.

Kyai Makmur terus memberikan arahan-arahannya kepada pasukan laskar untuk menghadapi tentara Belanda. Selama periode itu, pertempuran sengit terjadi antara pasukan laskar maupun Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan pasukan Belanda di berbagai wilayah Kabupaten Pemalang. **

error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!