PUSKAPIK.COM, Pemalang – Ulama legendaris asal Kabupaten Pemalang, Kiai Nur Durya atau Mbah Nur Walangsanga dengan kisah-kisahnya yang melegenda di telinga masyarakat menarik perhatian pegiat sejarah di “Kota Ikhlas”.
Mereka mendorong adanya penulisan sejarah mengenai kiai kampung di Desa Walangsanga Kecamatan Moga yang terkenal memiliki banyak karomah itu.
Kisah-kisah Mbah Nur yang melegenda itu diulas para pegiat sejarah Forum Politics and Historical Discourse (PHD) lewat diskusi di Sekretariat PHD, Graha Samira, Moga, Sabtu (14/6/2025).
Hadir sebagai narasumber, Faizul A’la—cicit Mbah Nur—dan Agus Setiyanto, pegiat sejarah lokal. Keduanya mengupas sisi spiritual, sosial, hingga misteri sejarah tokoh karismatik dari Desa Walangsanga, Kecamatan Moga.
Pendiri PHD, Akromi Mashuri, membuka diskusi dengan mengutip sejarawan Peter Carey: “Leluhur mboten sare”. Ia mengajak peserta mengirim doa untuk para sesepuh, khususnya Mbah Nur yang dikenal sebagai Kiai Nur Durya bin Sayyid.
Sosok Mbah Nur dikenal luas di Jawa Tengah, terutama di kalangan Nahdlatul Ulama. Banyak yang menganggapnya sebagai Waliyullah yang istiqamah dalam laku spiritual dan dermawan dalam kegiatan sosial, khususnya pendidikan.
“Mbah Nur membiayai banyak anak mondok. Kalau sekarang, mungkin disebut semacam yayasan filantropi,” kata Faizul A’la.
Mbah Nur juga disebut-sebut pernah dikunjungi Presiden Soeharto secara diam-diam pada masa hidupnya, diperkirakan antara tahun 1970 hingga wafatnya pada 1988. Informasi ini berasal dari kesaksian keluarga.
Menurut Faizul, Mbah Nur wafat dalam usia lebih dari 100 tahun. Ia dikenal menyepi di hulu Kali Comal, jauh dari permukiman warga, dan hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki menyusuri pematang sawah.
Agus Setiyanto menilai sosok Mbah Nur perlu diteliti lebih lanjut secara ilmiah. Ia menyoroti belum jelasnya asal-usul nasab Mbah Nur serta perannya pada masa kolonial.
“Nama ‘Sayyid’ mengindikasikan kemungkinan keturunan Arab atau Persia. Barangkali ada arsip sejarah di Leiden yang bisa ditelusuri,” ujar Agus.
Ia juga mempertanyakan apakah Mbah Nur pernah terlibat perlawanan terhadap penjajahan, mengingat banyak ulama saat itu menjadi musuh Jepang maupun Belanda.
Diskusi berlangsung hingga larut malam dalam suasana hangat. PHD mendorong agar sejarah Mbah Nur didokumentasikan lebih serius agar tidak hilang ditelan zaman. **
Berita Lainnya di SMPANTURA.NEWS :
