Demokrasi Citra
- calendar_month Jum, 28 Feb 2020


WARNA lalu lintas kehidupan manusia makin tak terbaca. Segala citra dan simbol bertebaran bebas tanpa dibuat mengerti maknanya. Selamat datang, di dunia rekayasa, dunia anggapan, dunia seolah-olah.
Dalam hitungan bulan ke depan, berbagai citra dan simbol yang diukir dalam wajah-wajah polesan akan berderet di sepanjang jalan dan tempat-tempat strategis di Pemalang. Suara-suara penebar semangat digaungkan dalam orasi-orasi politik saat kampanye terbuka. Ya, mendekati akhir Tahun 2020 ini, ada Pilkada Pemalang.
Sebentar lagi, pendulang suara, sibuk menggubah citra, agar suara nanti menghampirinya. Calon bupati dan calon wakil bupati mencetak baliho raksasa bergambar diri, mungkin berpeci atau bersorban. Harapannya, agar terlihat religius. Calon lainnya mungkin mengiklankan diri lewat adegan berada di tengah masyarakat atau bencana. Harapannya agar terlihat peduli dan merakyat.
Polesan citra dan permainan makna membungkus kita pada sebuah hiperrealitas. Jean Baudrillard menyebut istilah itu untuk menjelaskan perekayasaan makna dalam media. Atau Yasraf Amir Piliang menyebutnya sebagai realitas kedua. Sebab ia bisa lebih terlihat nyata dibanding yang benar-benar terjadi.
Citra tidak diciptakan begitu saja. Keberadaannya merupakan jaminan keberhasilan calon yang dibuat dari adonan harapan masyarakat dan klaim kebenaran seperti mumpuni, baik hati, religius, merakyat dan (wow!): agen perubahan.
Di tengah himpitan citra yang begitu menyesakkan, masyarakat hanya bisa menonton. Beberapa acuh, sisanya justru ketagihan. Kadang, masyarakat memang hanya menonton apa yang ingin mereka tonton. Bukan apa yang terjadi.
- Penulis: puskapik