Ajeng Triyani: Pesantren Sumber Ilmu dan Adab, Bukan Komoditas Sensasi Televisi
- calendar_month 6 jam yang lalu


Maka itu, ia menyebut bahwa reaksi publik terhadap tayangan tersebut sangat wajar dan harus dihargai sebagai bentuk kepedulian terhadap martabat pesantren.
“Di Pemalang, hampir di setiap kecamatan ada pesantren. Banyak kiai dan santri yang ikut membangun kehidupan masyarakat dari bawah — dari pendidikan, sosial, sampai kegiatan ekonomi.” jelas Ajeng.
“Jadi wajar jika masyarakat tersinggung. Ini bukan soal emosional, tapi soal harga diri dan kehormatan pesantren,” sambungnya.
Ajeng mengingatkan bahwa media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Maka semestinya media juga memiliki kepekaan sosial dan kultural.
“Jangan hanya mengejar sensasi, tapi hilang arah dalam memahami nilai-nilai bangsa,” tandasnya.
Terakhir, Ajeng menegaskan pentingnya membangun komunikasi yang sehat antara kalangan pesantren, masyarakat, dan media agar tidak terjadi kesalahpahaman serupa di masa depan.
Ia menyebut bahwa media juga berpotensi menjadi mitra strategis dalam memperkenalkan pesantren secara positif kepada generasi muda.
“Kita tidak menolak kritik, tapi kita ingin ada keseimbangan. Media bisa jadi jembatan edukasi publik tentang pesantren, bukan malah sumber salah paham. Kalau ini disikapi dengan bijak, justru bisa menjadi momentum memperkuat saling pengertian,” tutupnya.
Diketahui, tagar #BoikotTrans7 viral di media sosial usai tayangan program Xpose Uncensored pada 13 Oktober 2025 dianggap melecehkan dan menyinggung martabat kiai serta pondok pesantren.
Dalam tayangan tersebut, muncul sejumlah narasi yang dinilai merendahkan kehidupan pesantren, seperti “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok?”.
- Penulis: Eriko Garda Demokrasi
- Editor: Nia