Elit vs Netizen
- calendar_month Jum, 21 Feb 2020

HERU KUNDHIMIARSO

Di era medsos kayak sekarang ini, yang terjadi seringnya vox populi vox dei bukan lagi hanya bisa dimaknai suara rakyat, suara Tuhan, melainkan suara rakyat, suara opinion leader. Parahnya lagi, suara rakyat, suara buzzer.
Jadi dalam gegap-gempita kontestasi pesta demokrasi kali ini, medsos bisa jadi adalah parpol partikelir. Sebuah kekuatan di luar arena tetapi berkekuatan maha dahsyat. Bisa mengacaukan strategi skaligus membumihanguskan medan laga Pilkada.
Jika media mainstream saja sudah dicurigai bukan saja sebagai pengabar fakta, tapi juga ‘pengabur’ fakta, medsos yang payung yuridisnya masih abu-abu, bisa berekspresi sebebas-bebasnya. Bukan saja mengaburkan fakta, tapi juga memutarbalikkan, menjungkirbalikkan fakta.
Tetapi, mari berpikir positip saja preeen…bahwa netizen dan warganet Pemalang masih menomorsatukan kemuliaan hidup, kejujuran dan integritas. Sehingga menjadi faksi dan menjadi penentu fatsun politik, agar Pilkada menjadi ajang pesta demokrasi yang bermartabat.
Sangat menarik, jika warganet di Pemalang tak cuma jadi penonton, tetapi menjadi pengawal Pilkada ‘bayangan’ yang berhajat besar untuk mengawal Pilkada agar on the track. Posting, komen dan apapun dari netizen adalah semangat agar Pilkada berlangsung seru, tapi jujur dan bersih tanpa pelanggaran. Tapi dengan catatan : tanpa caci maki, tanpa hinaan, tanpa hoax (berita/infomasi bohong), dosa loh. heee…heee…
Alangkah bijak, jika netizen juga mulai memahami regulasi Pilkada mulai dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), UU Pilkada No 10 Tahun 2006, peraturan dan keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sehingga kritik dan apapun menyangkut hajat Pilkada tetap dalam koridor yang benar. Eh!, tapi kalau netizen nakal dikit-dikit itu seh wajiiiib, hahaha…..
- Penulis: puskapik