Elit vs Netizen
- calendar_month Jum, 21 Feb 2020

HERU KUNDHIMIARSO

DEMOKRASI kita hari ini masih saja seolah-olah. Faktanya, politik makin jatuh pada kubangan materialistik dengan pragmatisme yang akut.
Ilmu yang derajatnya tinggi ternyata terkikis oleh segepok uang. Akibatnya, untuk berpolitik dan terlibat di dalam jabatannya lebih sering yang dilihat adalah isi dompet bukan isi kepala. Mahar yang semestinya berbentuk profesionalitas ‘dipaksa’ berubah persepsi menjadi pundi-pundi uang. Karena memang elit politik tak butuh popularitas apalagi kualitas, yang penting bagi mereka para elit politik, ya isi tas.
Pilkada semestinya bukan sebatas hamparan senyum. Apalagi pura-pura senyum, yang menempel di pohon, dinding, tiang listrik, atau linimasa media sosial. Juga bukan ajang pamer gelar dan titel di spanduk, poster dan baliho berbagai ukuran.
Pilkada harusnya jadi momentum masyarakat untuk memilih calon pemimpin terbaik. Calon-calon yang semestinya telah memupuk kepercayaan dari masyarakat dalam rentang waktu yang panjang. Perjuangan mereka telah dirasakan masyarakat jauh-jauh hari, kiprah dan sepak terjangnya jelas. Bukan calon yang cuma bermodalkan kedekatan dengan para elit partai. Parahnya lagi, yang ujug-ujug nongol cuma bermodalkan isi tas.
Nah, media sosial (medsos) membuka peluang bagi kita untuk memperkuat demokrasi. Tapi sekaligus punya kesempatan merusaknya. Di era digital, besarnya dukungan publik bisa direkayasa dengan ujung jari. Berita palsu, caci-maki atau cerita baik sang kandidat yang dilebih-lebihkan, bisa gampangnya didesain.
- Penulis: puskapik