BPJS Kesehatan, Kelemahan dan Peran Vitalnya di Tengah Pandemi Covid-19

0
Iskandar Ali Syahbana

Oleh: Iskandar Ali Syahbana

Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan, melainkan juga pada kondisi sosial dan ekonomi. Dalam jangka pendek, dampaknya pada kesehatan ditunjukkan dengan angka kematian korban di Indonesia yang mencapai 8,9 persen. Di sektor ekonomi, pandemi ini menyebabkan anjloknya aktivitas perekonomian domestik, yang tidak menutup kemungkinan akan menurunkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam jangka menengah, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan hanya pada kisaran -0,4 persen hingga 2,3 persen—menurun signifikan jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai level 5 persen.

Wabah juga memukul banyak sektor usaha, menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, dan menurunkan penyerapan tenaga kerja. Jika kondisi ini tidak diantisipasi dengan baik, diperkirakan bisa terjadi ketidakstabilan sosial. Dalam jangka panjang, kesenjangan antar-kelompok pendapatan akan melebar, disparitas antar-wilayah dan kota-desa akan meningkat, serta berdampak pada terjadinya kemiskinan antar-generasi.

Maka dari itu, Pemerintah Indonesia harus secepatnya mengambil kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia. Terlebih kondisi kesejahteraan sosial di Indonesia masih didominasi oleh permasalahan “konvensional” seperti yang dikutip dalam buku “Model & Desain Negara Kesejahteraan” karya Budi Setiyono, Ph.d. Masalah yang terjadi di Indonesia ini, seperti kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketertinggalan, kesenjangan sosial, harus segera diatasi oleh pemerintah.

Sebelum adanya wabah Covid-19 ini, Indonesia belum sepenuhnya terhenti dari kemiskinan. Banyak warga yang masih menjadi pemulung, gelandangan, pengemis, maupun bagi mereka yang lemah iman, akan melakukan tindak kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut BPS 2020, persentase penduduk miskin pada September 2020 sebesar 10,19 persen atau 27,55 juta orang, meningkat 0,41 persen atau 1,13 juta orang terhadap Maret 2020 dan meningkat 0,97 persen atau 2,76 juta orang pada September 2019.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia membuat beberapa kebijakan untuk memberikan bantuan tunai baik sebagai modal usaha, pelatihan, membantu mencukupi kebutuhan hidup, ataupun kebijakan dalam bidang kesehatan. Salah satu program yang dikembangkan adalah BLT dan BPJS.

Sebenarnya kebijakan-kebijakan di Indonesia ini sangat membantu untuk kehidupan sosial warganya. Hanya saja masih banyak pemangku kepentingan yang bermain dalam kebijakan tersebut. ini membuat rakyat Indonesia selalu meragukan kebijakan Pemerintah. Seandainya Indonesia bisa menerapkan pola pikir rakyatnya seperti Negara maju, pasti jaminan kesetaraan dan kesehatan akan naik. Dalam buku Model dan Desain Negara Kesejahteraan, disampaikan bahwa ketika rakyat Indonesia memenuhi semua kewajiban yang ada, maka berhak menuntut hak yang seharusnya didapat. Kewajiban yang harus dipenuhi adalah membayar pajak, menaati hukum dan terlibat bela negara. Sedangkan Rakyat Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan, perlindungan social, dan berhak berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara.

Namun kenyataan yang terjadi mungkin berlawanan. Ketika orang sudah lancar bayar pajak, dia akan dikatakan mampu dan akhirnya malah tidak mendapatkan perlindungan sosial seperti yang diinginkan. Dan ketika kita mau mencari perlindungan hukum, seolah-olah hukum ini akan membela orang yang mempunyai uang. Kita juga sering merasa sudah tepat bayar pajak, tapi tidak ada semacam reward yang didapatkan. Ini yang membuat rakyat mungkin merasa kecewa.

Isu kesejahteraan memiliki keterkaitan dengan kemiskinan. Di Amerika Serikat misalnya, untuk mengatasi kemiskinan, Presiden Lyndon Johnson meluncurkan “Great Society” untuk mengatasi kemiskinan pada 8 januari 1964. Pada tahun 1971 Australia juga membentuk Komisi Penyelidikan Kemiskinan yang disusul oleh Inggris dengan Program anti kemiskinan di Tahun 1979, yang selanjutnya menjadi sebuah gagasan dengan system “welfare” yang diikuti oleh semua Negara. Kebijakan untuk mengatasi kemiskinan tadinya hanya berupa bantuan untuk mencukupi kebutuhan pokok, namun sekarang mulai berkembang seperti adanya pelatihan kerja, subsidi pendirian usaha baru, jaminan kesehatan, jaminan kelayakan hidup dan sebagainya. Dan inilah yang dicontoh oleh Indonesia saat ini.

Di Indonesia, ada lembaga serupa bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Baik NHS maupun BPJS memiliki visi yang sama, yakni memberikan layanan kesehatan berjenjang bagi seluruh rakyat Indonesia. NHS atau National Health Service adalah suatu kebijakan kesehatan di Inggris yang diusulkan Bevan dari Partai BUruh, setelah terjadinya perang dunia ke 2 .NHS didesain bukan seperti asuransi kesehatan yang menjamin risiko dan memungut iuran. Secara teknis, setiap orang yang tinggal di Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara bisa mendaftarkan diri di Primary Care atau General Practitioner (GP). GP ini semacam Puskesmas di Indonesia. Layanan NHS tak hanya bagi mereka yang tercatat sebagai warga negara Inggris Raya, tapi siapa pun yang datang ke negeri itu, baik pelajar, pekerja, maupun imigran, bisa menikmati layanan kesehatan gratis. NHS dibiayai dengan dana yang bersumber dari pajak.

BPJS ini berbeda dari NHS, hubungan rumah sakit dengan BPJS Kesehatan seperti hubungan antara rumah sakit dan perusahaan asuransi. BPJS membayarkan klaim ke rumah sakit dan rumah sakit adalah rekanan BPJS. Sistem ini tidak berada persis di satu payung seperti NHS. Sumber dana BPJS Kesehatan pun berasal dari iuran peserta dan bukan dari pajak yang sudah terbayar oleh masyarakat.

Dengan sistem yang terintegrasi, NHS memungkinkan pasien untuk berobat ke GP atau Puskemas mana pun. Rekam medis si pasien kemudian akan dikirim ke GP tempat ia mau berobat. Namun, skema BPJS tidak memungkinkan untuk dilakukan seperti ini. Seorang mahasiwa, misalnya, berada di kota lain selama sebulan. Tiba-tiba, ia merasakan sakit yang membuatnya harus ke dokter. Dalam skema BPJS, mahasiswa ini harus ke Faskes tempat ia terdaftar di kota asal. Jika tidak, dia wajib membayar untuk konsultasi dengan dokter.

BPJS sebenarnya merupakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dari JKN. Ada dua jenis BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Keanggotaan BPJS Kesehatan ini bersifat wajib bagi seluruh warga Indonesia. Sebagai anggota BPJS Kesehatan, diwajibkan untuk membayar iuran dalam jumlah yang sudah ditentukan. Namun demikian, pemerintah memberikan failitas bagi mereka yang kurang mampu untuk menerima pelayanan BPJS Kesehatan tanpa iuran. Para peserta ini disebut sebagai Peserta BPJS PBI (Peserta Bantuan Iuran) dan anggotanya adalah warga Indonesia yang sebelumnya telah memiliki KIS, Jamkesda, Jamkesmas, dan KJS.

Kelemahan BPJS

BPJS kesehatan juga tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang menghambat masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sekurangnya ada tiga kelemahan BPJS kesehatan yang hingga kini belum tertangani.

Pertama, adanya metode berjenjang saat melakukan klaim. Di BPJS, di luar keadaan darurat, peserta memang diharuskan memeriksakan penyakitnya ke faskes 1 terlebih dahulu. Faskes 1 ini sendiri berupa puskesmas atau klinik. Setelah dari faskes 1 dan pasien memang dirasa harus ke rumah sakit, maka pasien atau peserta BPJS baru bisa ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS.

Faskes yang ditawarkan kepada pasien ada dua, yaitu Faskes I dan Faskes II. Pasien hanya diperbolehkan untuk memilih satu dari tiap-tiap Faskes sesuai dengan wilayah pasien tinggal. Satu Faskes I dan satu Faskes II.

Kondisi ini tentu saja merugikan. Sebab kalau Faskes I yang berada di wilayah pasien tinggal tidak memuaskan, pasien tidak bisa berobat di Faskes I lainnya, kecuali mengurus kepindahan Faskes.

Lokasi Faskes juga dapat menimbulkan masalah baru. Bayangkan saja jika jarak lokasi Faskes dengan lokasi tempat tinggal pasien sangat jauh, hal ini tentu saja akan memakan waktu berjam-jam. Akibatnya, pasien bisa mendapatkan pelayanan yang tidak memuaskan.

Kedua, jumlah faskes rekanan yang belum maksimal. Pasien hanya diperbolehkan untuk mendapat pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dirujuk pihak BPJS Kesehatan. Bila rumah sakit tersebut tidak bekerja sama dengan BPJS, pasien yang mau berobat akan ditolak. Mau tidak mau pasien harus berusaha mencari daftar rumah sakit rekanan demi mendapat pelayanan rumah sakit yang cepat dan memuaskan.

Kendala terakhir yang paling sering dialami pasien adalah kesulitan untuk mengajukan rujukan ke rumah sakit. Sistem yang diberlakukan BPJS Kesehatan adalah sistem rujukan jenjang tertentu. Pasien yang ingin menikmati fasilitas kesehatan dari rumah sakit harus mendapat surat rujukan terlebih dahulu dari Fasilitas Kesehatan I (Faskes I), seperti puskesmas, dokter keluarga, dan klinik BPJS. Surat rujukan tersebut mendapat pengecualian untuk pasien yang sedang dalam kondisi gawat darurat

Beruntunglah jika Faskes I sedang tidak sibuk melayani sejuta masyarakat. Bila Faskes I sedang sibuk, pasien yang membutuhkan pertolongan dari pihak rumah sakit pun bisa saja sekarat karena sudah kelamaan menunggu surat rujukan tersebut.

Dari kekurangan-kekurangan BPJS Kesehatan di atas, pemerintah perlu mencari solusi secepatnya agar pelayanan kesehatan kepada masyarakat tetap berjalan maksimal.

Tidak ada cara lain bagi pemerintah selain dengan menyederhanakan prosedur pelayanan BPJS kesehatan. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan jumlah faskes rekanan agar masyarakat tidak repot.

Pemerintah juga perlu segera membenahi sistem di BPJS kesehatan agar masyarakat bisa menggunakan BPJS kapanpun dan dimanapun. Misalnya dengan membuat kerjasama dengan semua Rumah Sakit yang ada. Lebih jauh, pemerintah perlu mengkaji apakah memungkinkan jika kedepannya pembayaran iuran BPJS diambilkan dari APBN atau alokasi lain. Karena masyarakat setiap tahun selalu membayar pajak. Harapannya bisa diambilkan dari uang pajak tersebut.

Peran Vital BPJS

Sejak awal pemerintah seharusnya memahami dan memperhitungkan tentang peran vital BPJS terutama di tengah situasi pandemi ini.

Selama pandemi COVID-19, BPJS Kesehatan memiliki peran penting khususnya dalam penyediaan data masyarakat yang nantinya menerima fasilitas vaksin Corona. Selain itu, BPJS Kesehatan juga bisa membantu pemerintah dalam memverifikasi data tagihan atau klaim rumah sakit terkait pelayanan kesehatan.

Proses verifikasi klaim COVID ini, merupakan tugas vital lantaran berkaitan dengan cash flow rumah sakit di tengah pandemi.

Selain itu, BPJS Kesehatan juga bisa menyiapkan data khususnya bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang akan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menyalurkan bantuan sosial (bansos) Corona.

Penulis adalah Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa Pemalang

Semua materi dan isi opini menjadi tanggung jawab penulis (redaksi)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini