Hukuman Mati Koruptor Bantuan Covid-19, Belum Ada dalam UU

0

PUSKAPIK.COM, Pemalang – Wacana tentang hukuman mati terhadap koruptor di tengah pandemi corona (Covid-19), sempat mencuat. Beberapa tokoh sempat menyampaikan perihal tersebut. Di Kabupaten Pemalang, wacana itu diungkapkan Anggota DPRD Fraksi Partai Golkar, Ujianto, beberapa waktu lalu.

Abas Facturohman, Wakil Ketua Peradi Karesidenan Pekalongan, berpendapat, secara normatif jika sudah ada payung hukum memang bisa. Tapi untuk saat ini hukuman mati bagi koruptor belum ada dalam undang-undang.

“Dalam prosesnya, sebenarnya memungkinkan untuk dibuat aturan pengganti. Baik itu melalui Kepres atau yang lainnya,” kata Abas kepada puskapik.com, Kamis 23 April 2020.

Abas juga mengatakan, pada dasarnya sepakat bila hukuman mati dijatuhkan kepada koruptor di tengah pandemi Covid-19 ini. Alasanya karena jika yang dikorupsi dana bantuan sosial akan sangat mencederai rasa kemanusiaan.

“Dalam prakteknya alasan tersebut mungkin bagi jaksa hanya sebagai pemberatan tuntutan,” ujarnya.

Abas merinci, Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebutkan, (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Dalam penjelasannya tertera ‘keadaan tertentu’, banyak tokoh menafsir sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya. Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Menanggapi hal ini, Abas memberikan penekanan, bahwa penafsiran menteri atau siapapun tak bisa dijadikan patokan dalam proses pengadilan.

“Yang dipakai bukan penafsiran tokoh, pejabat, atau yang lain, namun majelis hakimlah yang akan mempertimbangkannya,” ujar Abas.

Penulis : Baktiawan Candheki
Editor : Amin Nurrokhman

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini