Harlah GP Ansor ke-84, PAC Ansor Moga Gelar Halaqoh Kebangsaan

MOGA (PuskAPIK) – Al Hidmah bersama GP Ansor Kecamatan Moga Kabupaten Pemalang menggelar Halaqoh Kebangsaan. Kegiatan yang melibatkan peserta lintas agama dan organisasi kemasyarakatan seperti pengurus NU, Pemuda Muhammadiyah, Forum Pemuda Gereja, dan Pemuda Pancasila serta dihadiri pula oleh para tokoh kyai, pengasuh pondok pesantren yang ada di wilayah Kabupaten Pemalang itu diselenggarakan dalam rangka memperingati Harlah (Hari Lahir) Gerakan Pemuda (GP) Ansor ke-84 tahun 2018, Rabu (25/4) kemarin, di Pondok Pesantren Al Falah asuhan KH. Ahmad Baedlowi Ilham, Moga.

Halaqoh Kebangsaan menghadikkan 2 rarasumber yaitu KH. Fadhlullah Turmudzi selaku Pengurus Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) Jawa Tengah sekaligus jajaran Rois Syuriah PCNU Kabupaten Kendal dan KH. Wahid Jumali, Lc, M.A, pimpinan Pusat GP Ansor skaligus pengasuh Ponpes Al Fattah Banjarnegara.

Dalam Forum Khalaqoh yang bertemakan ” Peran dan Upaya NU serta Pesantren dalam menangkal Politisasi Agama dan Sikap Intoleran” tersebut Kyai Fadhlullah menyampaikan bahwa politik dan agama memang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bangsa dan bernegara. Mengingat politik sendiri bagian dari dimensi yang dibahas dalam agama. Hanya saja, sebagai pengawal paham Moderasi Islam di NKRI, NU harus mampu membedakan mana politik agama dan agama yang dipolitikkan.

“Harus bisa dibedakan mana politisasi agama yang tujuannya untuk kemaslahatan seluruh umat dan mana praktik politik yang menggunakan simbol agama untuk kepentingan sesaat dan golongan tertentu” jelas Pengasuh Ponpes APIK Kaliwungu Kendal tersebut.

“Munculnya Fatwa Jihad Mbah Hasyim Asyari yang kemudian dikenal dengan istilah Resolusi Jihad juga lahir dari proses politik agama. Tetapi jelas endingnya adalah untuk kemaslahatan umat secara keseluruhan di bumi NKRI ini,” imbuh Kyai Fadhlullah.

Selian itu, kata Kyai Fadhlullah, politisasi agama dalam arti menggunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan kelompok tertentu atau sesaat sudah banyak kalangan ulama yang melarangnya, oleh karena itu agama harus menjadi kontrol politik agar sesuai dengan kaidah fiqh dalam Islam “Bahwa kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus dibangun untuk tujuan kemashlahatan,” terangnya.

Narasumber kedua, KH. Wahid Jumali, Lc, M.A yang biasa disebut Gus Wahid lebih membahas soal banyaknya kasus-kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi belakangan ini di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit hanya karena perbedaan pandangan dalam memahami teks agama, aksi diskriminasi, persekusi, maupun penghujatan terhadap orang lain terjadi. “Setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi sebab munculnya sikap intoleran, seperti pemahaman yang ekslusif, merasa paling benar sendiri, dan disharmonisasi di tengah masyarakat oleh sebab kesenjangan sosial yang ada,” jelas sarjana jebolan Al Azhar Kairo tersebut.

Menurutnya, untuk memulai mengikis potensi dan aksi intoleran seharusnya forum dialog, tabayun, dan saling menghormati sesama pemeluk agama, sebangsa, maupun sesama manusia di bumi ini harus bisa lebih dikedepankan. Saling menyadari bahwa silang pendapat dan perbedaan sejatinya sudah menjadi sunnatullah (ketetapan) Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka semestinya perbedaan yang ada menjadi sebuah kekuatan dan memupuk kebersamaan bukan malah menjadi pemisah dan perseteruan. Apalagi NKRI ini terbangun dari semangat Bhineka Tunggal Ika.

Khalaqoh Kebangsaan yang dihadiri oleh lebih dari 200 peserta ini diakhiri dengan Deklarasi Bersama tentang penolakan segala bentuk politisasi agama dan aksi intoleran yang disepakati bersama perwakilan lintas agama dan organisasi kemasyarakatan yang hadir. (red)

Loading

error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!