Oleh : Agung Afriyana M.Zain
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu elemen ekologis penting dalam tata kota modern. Keberadaannya di jantung kota atau wilayah strategis distrik memiliki peran sebagai paru-paru kota, ruang interaksi publik, serta penyeimbang antara kebutuhan ekologis dan aktivitas sosial masyarakat. Namun, urgensi pembangunannya di setiap wilayah, termasuk di Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, perlu dikaji secara proporsional dengan mempertimbangkan kebutuhan utama masyarakat setempat.
Di tengah geliat aspirasi pembangunan RTH Bumiayu yang berlokasi di bekas Pasar Kalierang, pemerintah daerah dihadapkan pada pilihan-pilihan krusial dalam penentuan skala prioritas. Hal ini bukan tanpa sebab. Berdasarkan data Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dindikpora) Kabupaten Brebes, terdapat 275 sekolah dalam kondisi rusak dari total 1.127 SD dan SMP yang tersebar di 17 kecamatan. Pada tahun 2025, program rehabilitasi menyasar 108 sekolah, dengan dukungan anggaran Rp 21,3 miliar dari APBD dan tambahan 16 sekolah melalui APBN.
Selain pendidikan, infrastruktur jalan juga menjadi sektor mendesak. Kabupaten Brebes memiliki lebih dari 1.300 km ruas jalan, namun sekitar 37 persen di antaranya mengalami kerusakan ringan hingga berat. Pemerintah Kabupaten Brebes melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU) sempat menghadapi pemangkasan anggaran dari Rp 177,9 miliar menjadi Rp 85,2 miliar akibat kebijakan efisiensi pusat. Namun, Bupati Brebes Paramitha Widya Kusuma mengambil langkah strategis dengan menambahkan Rp 27,5 miliar, sehingga total anggaran pembangunan fisik infrastruktur tahun ini mencapai Rp 112 miliar.
Dalam konteks tersebut, pembangunan RTH harus dilihat sebagai bagian dari kebutuhan jangka menengah-panjang, bukan solusi jangka pendek terhadap problem utama masyarakat. Prioritas pembangunan di Brebes saat ini masih bertumpu pada pengentasan kemiskinan ekstrem, rehabilitasi sekolah, peningkatan akses layanan kesehatan, dan pembangunan jalan. Ini adalah pilar-pilar dasar kesejahteraan masyarakat yang tidak bisa ditunda.
Di sisi lain, pembangunan RTH juga harus memperhitungkan dampak sosial dan ekonomi lokal. Banyak pelaku usaha kecil yang bergantung pada lokasi eks pasar dan sekitarnya untuk mencari nafkah. Ketika relokasi dilakukan tanpa rencana yang matang, potensi konflik sosial dan kerugian ekonomi justru akan meningkat. Maka, diperlukan pendekatan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, bukan hanya simbolik atau seremonial.
Ruang hijau memang penting, tetapi pembangunan yang tergesa-gesa tanpa menyelesaikan kebutuhan primer dapat menimbulkan persoalan baru. Sebab, kesejahteraan masyarakat tak semata dibangun dari estetika kota, tetapi dari kemudahan mengakses pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang terjangkau, dan infrastruktur jalan yang memadai.
Dengan demikian, RTH tetap penting dan masuk dalam rencana pembangunan bertahap. Namun, pemerintah daerah perlu memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat telah terpenuhi terlebih dahulu. Dalam perspektif pembangunan yang sehat, pembangunan sekunder harus menopang, bukan mengorbankan, prioritas primer. **
Penulis: Mahasiswa Universitas Peradaban Bumiayu, Brebes.
Berita Lainnya di SMPANTURA.NEWS :
