Kisah Kiai Achid, Sosok Ulama Dibalik Lahirnya Muhammadiyah di Pemalang

PUSKAPIK.COM, Pemalang – Hadirnya Muhammadiyah di Kabupaten Pemalang melewati sejarah panjang sejak masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Adalah Kiai Achid, sosok yang membesarkan organisasi Islam tersebut di Pemalang.

Putra Kiai Achid, KH. Ghozie Achid, menceritakan langsung sejarah berdirinya Muhammadiyah itu di acara diskusi sejarah oleh forum kajian Politics and Historical Discourse (PHD) di Sekretariat PHD, Banyumudal, Moga, Minggu (22/6/2025).

Mungkin banyak dari warga Kabupaten Pemalang yang belum tahu atau bahkan belum pernah mendengar nama Kiai Achid, seorang ulama sekaligus pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam kisah hidupnya, Achid kecil lahir di Dukuh Basuruan, Desa Kajen, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal pada tahun 1905. Ayahnya, KH. Mustahid, dan ibunya, Nyai Azkiyah, keduanya adalah guru ngaji di kampungnya.

Sejak kecil Achid digembleng ilmu agama oleh kedua orangtuanya. Tahun 1919, ia lalu dikirim ke Pondok Pesantren Tebuireng asuhan Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) Nahdlatul Ulama.

Saat usianya baru menginjak 18 tahun, Achid dinikahkan dengan Rodliyah, gadis asal Desa Banyumudal, Moga, Kabupaten Pemalang, yang merupakan anak dari kerabat ayahnya, tepatnya di tahun 1923.

Akad nikah Achid dan Rodliyah dilangsungkan di Tebuireng dan yang menikahkan Kiai Ma’shum Ali, menantu Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari.

Hingga pada tahun 1926, Achid bersama istrinya pulang ke Pemalang dan menetap di Dukuh Simadu Desa Banyumudal Kecamatan Moga. Sejak itulah Achid mulai berdakwah di Moga. Ia “mulang ngaji” di Mushola yang dibangun oleh mertuanya.

Achid rutin menggelar pengajian (tabligh) bersama sahabatnya Kiai Rifa’i mulai tahun 1932 di rumah H. Mashudin di Gamprit Moga. Pengajian inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Muhammadiyah di Moga Pemalang.

Tidak hanya mengajar dan berdakwah, Achid juga menjadi anggota Laskar Hizbullah bentukan KH. Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur.

Bertepatan dengan Agresi Militer Belanda jilid 2 di tahun 1948, Achid menjadi sasaran target penjajah. Dalam pengejaran Belanda, ia pernah dibrondong tembakan saat mandi di Sungai Klawing di Dusun Danareja daerah Purbalingga.

Saat itu orang-orang mengira Achid sudah gugur tertembak dan hanyut terbawa air sungai. Padahal ia selamat.

Pasca Agresi Militer Belanda 2, Achid ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh Pemerintahan Sukarno tanpa proses pengadilan. Ia dituduh sebagai salah satu anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Dalam kisahnya, Achid dipenjara selama 1 tahun di Pekalongan, lalu dipenjarakan lagi di Nusakambangan selama 6,5 tahun.

Menariknya, Kiai Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur, pernah berkunjung dan menginap di rumah Kiai Achid. Saat itu Kiai Wahid Hasyim masih menjabat Menteri Agama.

Putra Kiai Achid yakni Ghozie Achid pun saat kecil pernah diasuh oleh Nyai Wasriah yang kemudian hari dipercaya mengasuh anak-anak Kiai Wahid Hasyim meminta Wasriah untuk mengasuh anak-anaknya di Jakarta, termasuk Gus Dur. **

Berita Lainnya di SMPANTURA.NEWS :

Loading RSS Feed
error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!