Simulakra

0

Manusia dan pengalaman sudah kehabisan eranya. Penggantinya, disebut Jean Baudrillard sebagai dunia simulakra. Dunia dipenuhi citra dan penanda atas peristiwa. Pengalaman, bukan satu-satunya hal nyata yang menentukan tindakan manusia.

Simulakra oleh Baudrillard ada di sekitar kita. Beberapa dipertontonkan secara bebas oleh kotak ajaib televisi. Apalagi kini, hampir semua manusia mengenggam kotak ajaib lebih kecil bernama gatget. Sisanya bertebaran bebas di sepanjang jalan.

Pilkada Pemalang memang masih lama, masih dalam hitungan bulan. Tapi lihat saja, di pinggir jalan mualai ada baliho bakal calon bupati.

Citra dan makna paling banyak dimainkan si pendulang suara dalam helatan pemilihan. Ada yang bilang, selebar-lebarnya baliho ia hanya produk polesan demi pencitraan.

Bupati dalam trias politica, dimaknai sebagai penghamba rakyat memimpin eksekutif. Dia adalah pembantu rakyat, bukan majikan rakyat. Karena rakyat tak tinggal di rumah dinas dan pendapa. Artinya jelas, bupati bukan soal siapa-dia, tapi untuk-siapa-dia.

Semesta postmodern, menyulap peristiwa menjadi simulacrum. Kenyataan diterima sebagai simulasi. Melalui iklan calon bupati, masyarakat hanya mengenal siapa-dia. Bukan untuk-siapa-dia. Sebab masyarakat hanya disuguhi raut senyum polesan si calon pembantu rakyat.

Masyarakat, dipaksa untuk mengkonsumsi citra mulus dan senyum teduh calon pemimpin. Sementara pengalaman-pengalaman masyarakat tentang malasnya para pembantu bupati misalnya, pemborosan anggaran dan lainnya, dihapus melalui senyuman dalam iklan.

Permainan citra dan makna, membuat calon harus pintar-pintar mencari celah menyisipkan foto diri editan. Beberapa yang jengah dan malas memaku di pohon, melirik mobil dan angkutan. Tring! Jadilah iklan bebas berkeliaran di ruas jalan, membawa citra dan makna si calon.

Ya, banyak calon bupati siap saji. Belum ada pengalaman. Apalagi pengabdian. Memang ada regulasi pemasangan alat peraga kampanye dan promosi. Ia jauh tertinggal kreativitas calon mencari celah untuk pencitraan. Jangan heran, jika keputusan memilih bukan soal kualitas, tapi kuantitas seberapa sering wajahnya terlintas di ruas jalan.

Simulakra, hiperealitas dan pembodohan ada dalam satu garis lurus. Sebab kepercayaan bukan berdasar kenyataan pengalaman. Sebab manusia sudah memilih segalanya jadi instan. hahaha….jangan serius-serius……mari kita ngopi.

Amin Roman
Pemimpin Redaksi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini